Motor antik Zundap Kopling dan mobylette
adalah motor dengan kapasitas kurang dari 50cc atau lebih dikenal dengan
istilah Bromfiet. Motor ini buatan
sekitar tahun 50an, keunikan dari motor mopet ini adalah ada pedalnya yang berfungsi untuk diboseh apabila bensin
habis. Sebuah konsep motor yang perlu dikembangkan sekarang. Mungkin konsep
boseh ala sepeda dan tenaga mesin saat
ini yang mengadopsi adalah Sepeda motor listrik buatan china. Jadi Motor bisa
berfungsi sebagai sepeda juga. Motor Zundapp kopling dan
mobylette untuk menjalankan, setelah mesin dihidupkan motor ini dengan hanya
digas aja tanpa ada presnelingnya sehingga seperti motor-motor matik sekarang. Mungkin motor
matik sekarang terinspirasi oleh motor tersebut dengan beberapa penyempurnaan
teknologinya. Sungguh motor antik banyak memberikan inspirasi bagi para
pendesain motor zaman sekarang. Semoga
suatu saat dengan menggunakan konsep motor yang ramah lingkungan dengan
mengeluarkan motor bermesin yang ada pancalannya sehinggu berfungsi ganda selain
sebagai motor juga sebagai sepeda. Ternyata motor antik
memiliki teknologi yang mengagumkan
..................Motor antik aja mengispirasi para ilmuan di dunia
otomotif......bagaimana dengan anda????????????????
Waktu tidak pernah akan terulang kembali hanya dengan benda-benda pada masanyalah kita dapat bernostalgia dengan waktu yang lampau
Senin, 22 Oktober 2012
Zundapp Kopling Si Kecil Yang Langka
Zundapp Kopling atau Zundapp combinette 404 merupakan motor
buatan jerman tahun 50an. Bagi kalangan penggemar motor antik Zundap combinette
404 ini lebih terkenal dengan nama Zundapp kopling. Dinamakan seperti ini
karena cara menggunaan motor ini cukup
unik yaitu dengan cara melepas koplingnya jika mau menggunakan motor dan
menekan koplingnya untuk memberhentikannya. Zundapp Koplingku ini buatan tahun 1954 masih
cukup terawat dan catnya masih orisinil. Zundapp jenis ini cukup langka karena
boleh dibilang zaman dulu barang ini masuk di Indonesia bisa dihitung dengan
jari atau barang Limited Edition. Motor ini memiliki fungsi ganda selain
sebagai motor juga dapat berfungsi sebagai sepeda. Memurutku motor Zundapp
Kopling merupakan motor generasi pertama motor matic karena motor ini
mengoperasikannya tanpa memindahlan gigi presneling hanya mengegas dan menekan
kopling atau melepas koplingnya. Dengan model yang kecil seperti sepeda
onthel memungkinkan orang untuk memboseh
motor ini tanpa menanggung beban yang terlalu berat. Sebuah Motor yang layak untuk dikoleksi dan belum
tentu dinegara asalnya yaitu Jerman motor ini masih ada yang berlalu lalang
dijalanan.
Jumat, 21 September 2012
Legalkan Motor Antik Sebagai Benda Cagar Budaya
Sejarah masuknya motor di Indonesia adalah seorang
berkebangsaan Inggris bernama John C. Potter pada tahun 1893. Sehari-hari
J.C. Potter bekerja sebagai Masinis Pertama di pabrik gula Oemboel
(baca: Umbul) Probolinggo, Jawa Timur.
J.C. Potter juga dikenal sebagai penjual mobil yang mendapat kepercayaan
Sunan Solo untuk mengurusi pengiriman mobil pertamanya dari Eropa. Sepeda motor itu tiba pada tahun 1893, satu
tahun sebelum mobil pertama milik Sunan Solo (merk Benz tipe Carl Benz) tiba di
Indonesia. Hal itu menjadikan J.C.
Potter sebagai orang pertama di Indonesia yang menggunakan kendaraan
bermotor. Selain itu, ada hal yang menarik
apabila kita mengamati tahun kedatangan sepeda motor tersebut. Untuk diketahui, sepeda motor pertama di dunia
(Reitwagen) lahir di Jerman pada 1885 oleh Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach
tetapi belum dijual untuk umum. Tahun
1893, sepeda motor pertama yang dijual untuk umum dibuat oleh pabrik sepeda
motor Hildebrand und Wolfmüller di Muenchen, Jerman. Sepeda motor ini pertama kali masuk ke
Amerika Serikat pada tahun 1895 ketika seorang pemain sirkus asal Perancis
membawanya ke New York. Jadi, meski
yang membawanya bukan orang pribumi Indonesia, tetapi sebuah hal yang luar
biasa ketika sepeda motor komersial pertama di dunia ternyata langsung dikirim
ke Indonesia pada tahun pertama pembuatannya.
Terlebih lagi, baru dua tahun kemudian sepeda motor komersial pertama
tersebut masuk Amerika Serikat. Jadi,
sepeda motor yang pertama kali masuk Indonesia merupakan sepeda motor pertama
di dunia juga. Sepeda motor ini
tidak menggunakan rantai dan roda belakang digerakkan langsung oleh kruk as
(crankshaft). Meski berusia ratusan
tahun, ternyata motor komersial pertama di dunia ini sudah mengusung teknologi
yang sampai saat ini masih dipakai diantaranya adalah twin-silinder horizontal,
4 valve, berpendingin air, dan berkapasitas mesin besar yaitu 1.500 cc dengan
bahan bakar bensin atau nafta. Namun,
meski bermesin besar tetapi tenaga kuda yang dihasilkan hanya 2,5HP saja pada
240rpm. Selain itu, sepeda motor ini
belum menggunakan persneling, belum menggunakan magnet, belum menggunakan aki
(accu), belum menggunakan koil, dan belum menggunakan kabel listrik. Diperlukan waktu sekitar 20 menit untuk
menghidupkan dan mestabilkan mesinnya.
Pada tahun 1932, sepeda motor ini ditemukan dalam keadaan rusak di
garasi di kediaman John C Potter.
Sepeda motor itu teronggok selama 40 tahun di pojokan garasi dalam
keadaan tidak terawat dan berkarat.
Atas bantuan montir-montir marinir di Surabaya, sepeda motor milik John
C Potter itu direstorasi (diperbaiki seperti semula) dan disimpan di kantor
redaksi mingguan De Motor. Kemudian
sepeda motor antik itu diboyong ke Museum Lalu Lintas (Museum Polisi) di
Surabaya yang kemudian pada tahun 1934 disumbangkan ke Museum Negeri Mpu
Tantular di Sidoarjo dengan nomer inventaris 10.81 kategori IPTEK namun
memberikan deskripsi yang berbeda, yaitu sebagai sepeda motor uap merk Daimler (
Motorlama.com). Itulah sekilas sejarah masuknya sepeda motor di Indonesia. Setelah masa penjajahan Belanda dan Jepang meninggalkan banyak harta karun “ Motor dan Mobil Antik” banyak
motor seperti harley davidson, Norton, DKW, BMW, BSA dan masih banyak lagi
merk-merk terkenal pada masanya. Motor-motor tersebut ditinggalkan begitu saja
oleh penjajah dan kepemilikan motor itu beralih ke penduduk indonesia untuk
digunakan mempertahan kemerdekaan di era tahun
45. Setelah berjalannya waktu ada motor-motor yang sudah rusak atau tak layak
jalan dimusnahkan / dijadikan besi tua
(sungguh sayang sekali) dan lainya dirawat oleh sedikit orang yang
peduli terhadap saksi sejarah ini. Dunia
mengakui bahwa di Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki populasi
motor BSA terbanyak di dunia selain negara asalnya Inggris. Daerah terbanyak
populasi motor BSA di Indonesia adalah Pematang Siantar Sumatra utara. Disana
dikenal diseluruh dunia dengan Bentornya alisan Becak Motor yang rata-rata
memakai motor BSA dengan Seispannya sebagai tempat penumpangnya. Semoga
Pemerintah daerah Pematang Siantar jeli melihat Peluang ini dengan memanfaatkan
Bentor-Bentor itu sebagai salah satu
media untuk menarik Wisatawan berkunjung disana atau minimal sebagai trade mark Kota Pematang siantar ( kalo dengar
pematang siantar pasti ingat Bentor BSA). Saat ini masih
banyak motor-motor antik peninggalan par
a pejuang kita, karena motor bekas
penjajah maka banyak motor tersebut tidak memiliki dokumen-dokumen kepemilikan
sehingga legalitasnya dipertanyakan. Dengan umur motor yang sudah diatas 50 tahun sehingga
motor ini bisa dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya yang harus dilindungi
dan dilestarikan. Terkait dengan itu
maka sudah seharusnya motor-motor antik itu dilegalkan oleh pemerintah dengan diterbitkannya semacam surat
keterangan dari pihak yang berwenang sehingga memiliki kekuatan hukum /legal. Semoga Pemerintah
Kita Peduli akan keberadaan Motor Antik Di Indonesia dengan melegalkan dan
membebaskan Pajak Kendaraan Bermotor Bagi Motor-Motor Antik Di Indonesia.
Kapankah Impian para pecinta motor antik ini terwujud???? Hanya Waktu Yang dapat menjawabnya…………………….
Rabu, 08 Agustus 2012
Bangunan Cagar budaya sebagai Tujuan Wisata
Di Wilayah Malang banyak sekali bangunan- bangunan cagar budaya
peninggalan masa kolonial dulu. Kota Malang pada masa lalu merupakan kota yang
sudah terkenal akan keindahan alamnya. Secara geografis kota malang dikelilingi
oleh gunung-gunung dengan sisi sebelah timur ada gunung semeru sebelah utara
ada gunung arjuno sisi sebelah barat ada gunung Kawi dan sisi sebelah selatan
ada deretan gunung pantai selatan. Gunung-gunung yang mengelilingi kota malang
ini menambah keindahan kota malang dengan gunung semeru yang setiap setengah
jam sekali memuntahkan gas/ abu gunung berapi sangat jelas terlihat dari kota
malang. Selain itu sisi sebelah barat ada gunung kawi atau masyarakat Kota
Malang menyebutnya gunung putri tidur, karena sekilas dilihat memang seperti putri
yang sedang tidur dengan rambut yang terurai. Tata kota Malang memang sangat
baik sejak zaman belanda dengan membuat jalan ijen, jalan yang sangat
legendaris di kota malang. Selain Jalan ijen ada juga alun-alun bunder yang
letaknya didepan kantor Wali Kota dan dekat dengan stasiun kota baru. Bila
Pemerintah kota malang jeli dengan memoles bangunan-bangunan cagar budaya ini
niscaya banyak Wisatawan mancanegara atau domestik berdatangan ke Kota Malang. Sementara
ini Kota Malang hanya kota singgahan Wisatawan yang datang ke Kota Batu. Memang
harus diakui Kota Malang dalam hal tujuan Wisata masih kalah dengan Kota Batu yang
mana Kota Batu memiliki banyak tempat-tempat Wisata dan memoles alun-alunnya
yang cukup baik untuk menarik Wisatawan. Kota Malang memiliki potensi Wisata Cagar Budaya, seperti bangunan asrama Universitas
Negeri Malang yang ada didekat Bali Kota Malang apa bila di perbaiki dan
dipercantik bangunan itu bisa dimanfaatkan sebagai tujuan Wisata seperti contoh
difungsikan sebagai Tempat makan atau tempat pamer Produk kerajinan tangan khas
Malang dan masih banyak lagi aset-aset bangunan cagar budaya. Ada asset satu lagi dikota Malang yang belum digali, mungkin ini agak
ekstrim yaitu Wisata Kuburan Kuno. Dimalang ada sebuah komplek pemakaman kuno
zaman belanda yang letaknya didaerah Sukun Kota Malang. Pemakaman Zaman Belanda
ini memiliki ciri khas dengan bentuk bangunan dan patung-patung yang cukup
unik. Apabila Dipermak dengan dibersihkan rumput ilalang dan mengecatnya saya
rasa Pemakaman itu jauh dari kesan
Angker dan menakutkan bisa sebagai tujuan wisata atau dipergunakan untuk
tempat syuting film, objek Fotografer Dll . Selain Itu Di Daerah malang juga ada Pabrik Gula yang notabene merupakan memiliki bangunan dan aset cagar budaya. Kalau Manajemen Pabrik gula bisa memanfaatkan secara maksimal aset-aset yang dimiliki pasti akan dapat pendapatan sampingan selain hasil gulanya. Pabrik gula dengan memanfaatkan Rel-rel Lori sebagai wisata Kereta tua dengan jalur-jalur perkebunan dengan nuansa alam disisi kiri kanan sepanjang perjalanan dengan menggunakan Lokomotif Kuno Milik pabrik. Sebuah Pemikiran Sederhana Ala Sang
Pemulung……………………………..
Rabu, 06 Juni 2012
Radio Saksi Bisu Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia
Radio adalah teknologi
yang digunakan untuk pengiriman sinyal dengan cara modulasi dan radiasi
elektromagnetik (gelombang elektromagnetik). Gelombang ini melintas dan
merambat lewat udara dan bisa juga merambat lewat ruang angkasa yang hampa
udara, karena gelombang ini tidak memerlukan medium pengangkut (seperti molekul
udara).Ketika kemunculannya pertama kali pada 1920, media penyiaran radio langsung menjadi primadona di masyarakat. Pasalnya, media ini menawarkan penyebaran informasi yang lebih luas, lebih cepat, lebih interaktif, dan lebih menghibur. Sebuah penawaran yang tidak mampu disuguhkan koran dan media massa cetak lainnya ketika itu. Radio pada masa penjajahan merupakan alat yang sangat vital untuk
mengumumkan suatu kebijakan atau pengumuman untuk tujuan tertentu. Pada masa
itu hanya segelintir orang yang memiliki sebuah radio, sehingga pada saat itu
radio merupakan suatu barang yang mewah. Orang-orang akan berkerumun hanya
untuk mendengarkan siaran radio. Pada saat proklamasi dikumandangkan peran dari
radio sangat vital karena proklamasi disiarkan biar seluruh rakyat Indonesia
dan dunia mendengar bahwa tanggal 17 Agustus 1945 telah lahir Republik
Indonesia. Radio merupakan alat propaganda yang efektif pada zaman itu. Delapan puluh tahun kemudian, radio masih tetap dikonsumsi masyarakat. Namun, jumlah pendengarnya semakin menurun saja saat ini. Sebabnya, budaya masyarakat dalam mengakses informasi berubah. Seiring
perkembangan zaman radio mulai beralih fungsi yang dulunya sebagai alat hiburan dan
propaganda berubah menjadi Aksesoris/hiasan Rumah atau Rumah Makan konsep
klasik. Pada zaman kemerdekaan banyak sekali merk-merk radio yang beredar di
Indonesia diantaranya adalah : Philips, Erres, Grundig, Telefunken, Galindra, Ralin, Maphira dll. Radio radio
itulah sebagai saksi sejarah akan berdirinya Republik ini sehingga saya pribadi
sebagai pecinta barang antik/radio antik menghimbau untuk tidak menjual barang-barang antik terutama Radio antik
keluar negeri agar penanda berdirinya republik ini tidak musnah dari Negara tercinta ini. Untuk mengetahui
tahun pembuatan radio Philips adalah sebagai berikut :
Kode radio tabung merk
Philips menggunakan 6 hingga 7 digit kode sebagai identifikasi produknya.
Penomoran tersebut dimanfaatkan selama 20 tahun, sejak 1946 hingga 1966 :
-- Dekade
1946-1956, urutan nomor diawali oleh 2 huruf (misal BX, BD, BF)
-- Dekade
1956-1966 dengan huruf dan angka (misal B4, B6, L4).
Selepas tahun 1966,
Philips pun mengubah sistem penomoran produknya, yakni dengan kode AL, RL.
Semisal 90 RL 490, 16 AL 360 / 00R, dan lain-lain.
Metode Penomoran pada
Periode : 1946-1956
- Kode
pertama berupa Huruf merupakan kode untuk Jenis/Tipe
- Kode kedua
berupa Huruf merupakan kode untuk Lokasi Perakitan
- Kode
ketiga berupa Angka merupakan kode untuk Kelas Harga
- Kode
keempat berupa Angka merupakan kode untuk Tahun
- Kode
kelima berupa Angka merupakan akhiran
- Kode
keenam Catu Daya
Metode Penomoran pada
Periode : 1956-1966
- Kode
pertama berupa Huruf merupakan kode untuk Jenis/Tipe
- Kode kedua
berupa Angka merupakan kode untuk Kelas Harga
- Kode
ketiga berupa Huruf merupakan kode untuk Lokasi Perakitan
- Kode
keempat berupa Angka-Angka merupakan kode untuk Tahun
- Kode
kelima berupa Angka merupakan kode untuk Catu Daya
- Akhiran
Berikut maksud dari
masing-masing kode tersebut.
1. Urutan pertama :
jenis produk
A :Tuner
F : Console
B : Tabletop
N : Radio
Mobil
H : Radio
dengan Pickup
L : Portabel
P : Portabel
/ Radio Mobil
T : Televisi
2. Urutan kedua :
Kelas harga
Menunjukkan kelas dan
harga. Semakin kecil angka nomornya, berarti makin murah dan rendah kelasnya,
sebaliknya semakin besar berarti semakin mahal. Kelas juga menunjukkan
fasilitas yang menyertainya, misalnya untuk angka 0 (nol) adalah paling murah
dan sederhana, tanpa disertai fasilitas apapun. Angka 6 dapat dipergunakan
sebagai amplifier. Angka 9 termahal sekaligus memiliki beberapa fasilitas
seperti tape recorder dan signal scope.
3. Urutan ketiga :
Lokasi perakitan
X : Belanda
/ Belgia
A: Austria
D: Jerman
S: Swedia
DK: Denmark
E: Spanyol
F : Perancis
SF:
Finlandia
G: Inggris
Raya
I: Italia
N: Norwegia
W: Amerika
Serikat
Pada masa jayanya,
Philips memiliki banyak pabrik perakitan elektronik di berbagai negara, hingga
dimunculkanlah kode-kode tertentu untuk membedakan asal pabrik perakitan. Yang
paling umum adalah kode X, yang merupakan produksi Belanda (juga Belgia).
Pasangan huruf dan nomor juga bisa berarti lokasi perakitan, misalnya E-nomor
berasal dari Eindhoven, PL-nomor dari Philips Leuven.
Radio dengan kode IN
adalah rakitan pabrik Philips di Indonesia.
4. Urutan keempat :
tahun pembuatan dan serial
Urutan keempat dan
kelima merupakan pasangan nomor dari 00 hingga 99. Angka pertama memperlihatkan
tahun pembuatan, sementara angka belakangnya sebagai pembeda dua radio yang
memiliki karakteristik sama atau mungkin dibuat pada th yang sama.
5. Urutan kelima :
sumber daya
A : Tenaga
listrik AC
U :
Universal (AC / DC)
B : Baterai
V : Aki
T : Radio
transistor dengan baterai voltase rendah
X : Catu
daya utama AC atau dengan vibrator DC
Z : Gabungan
aki / soket
Radio dgn kode A
berarti dapt langsung dicolokkan ke listrik rumah. Perhatikan, untuk kode U
radio tersebut dapat menggunakan AC maupun DC (90 Volt DC). Huruf V umumnya
adalah radio mobil. Kode huruf X berarti radio tersebut memiliki catu
daya utama AC, tetapi dapat dinyalakan dengan catu daya DC melalui vibrator
(semacam tenaga cadangan, fungsinya mirip baterai).
6. Urutan Terakhir :
akhiran penutup
Akhiran (bisa berupa
garis miring atau nomor) adalah kode tambahan, dan bisa juga berarti apa saja.
Misalnya sebagai kode perbaikan teknis, tingkat pengembangan, besar frekuensi
daya listrik, kode modifikasi, maupun produk untuk pasar tertentu.
Mari kita praktekkan,
radio Philips dengan nomor seri B6X61A/01, dapat diartikan :
B = Jenis
radio
6 = Kelasnya
X = Negara
Perakit
61 = Tahun
(depan) - Serial (belakang)
A = Catu
Daya
01 = Akhiran
Jadi ia adalah Philips
model table top, klas VI (biasanya memiliki fungsi untuk input piringan
hitam/phono) dirakit di Belanda pada tahun 1956, menggunakan catu daya listrik
AC.
Misalnya lagi nomor
seri L4X24T, maka produk itu adalah radio jinjing (portabel) dengan komponen
transistor, bertenaga baterai, yang dirakit di Belanda pada tahun 1962. Nah
untuk radio Roti, misal BIN318U dapat diterjemahkan sebagai berikut:
B = jenis
radionya (Table top alias ditaroh di atas meja)
IN = Rakitan
Indonesia
3 = radio
ini berada di kelas III kualitasnya
1 = dibuat
sekitaran 1951
8 = akhiran
yg berfungsi utk membdakn dg tipe radio roti lainnya yg diproduksi pada thn yg
sama
U = Catu
daya, u berarti UNIVERSAL, berarti bisa AC (127V) bisa DC (90V)
Dimana lokasi
informasi di atas?
Lihat bagian belakang
radio (rear cover), ada tutup karton keras. Biasanya karton tersebut memiliki
semacam lubang jendela kecil yang langsung memperlihatkan secarik kertas yang
menempel di rangka mesin.
Angka yang
tersedia adalah (untuk radio Philips)
-- tegangan
kerja dalam volt
-- frekuensi
kerja dalam hertz
-- nr seri
produksi
-- nr tipe
radio (nah seperti diuraikan di atas)
-- daya
konsumsi dalam watt
( Forum Detik)
Selasa, 29 Mei 2012
Festival Malang Kembali dan Jatidaya 2012
Pemerintah Kota Malang bekerja sama dengan Yayasan Inggil Malang pada tanggal 24 sd 27 Mei 2012 mengadakaan even tahunan Festival Malang Kembali VII atau Malang Tempo Doeloe VII. Acara Tahunan Ini merupakan salah satu cara bagaimana kita melestarikan, mempromosikan dan menghargai budaya kita yang adi luhung. Acara FMK pada tahun ini lebih inovatif dari tahun-tahun sebelumnya karena diacara FMK kali ini tepatnya tanggal 27 Mei 2012 diselingi acara JATIDAYA ( Kerja Bakti Budaya) dengan bergotong royong mengecat bangunan-bangunan cagar budaya disekitaran Wilayah Kayutangan Kota malang. Gotong royong merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang pada saat ini sudah mulai luntur tergerus arus mordenisasi. Acara JATIDAYA ini diikuti berbagai eleman masyarakat di Kota Malang. Acara seperti ini perlu dicontoh kota-kota lain di Indonesia selain kita melestarikan bangunan Cagar budaya juga memperlihatkan "BETAPA INDAHNYA KEBERSAMAAN".
Festival Malang Kembali VII
JATIDAYA
Senin, 14 Mei 2012
Ducati Anjing Kecil “ CUCCIOLO” Yang diterlantarkan
Ducati diprakarsai oleh Adriano ducati, Marcello ducati dan Bruno
ducati. Tiga saudara ini mendirikan pabrik di bologna itali yang menproduksi
jondensor dan komponen2 radio. Perusaan ini kemudian bekerja sama dengan
perusahaan laon dengan memproduksi mesin yang digunakan untuk membuat sepeda
gunung, mesin ini diberi nama cucciolo. Pada tahun 1950 Ducati memproduksi
sebuah kendaraan dengan menggunakan mesin cucciolo tersebut. Motor ini menjadi
motor produksi Ducati yang pertama. Motor ini memiliki berat 44kg dengan
kapasitas mesin 60cc dan kecepatan maksimal hanya 60 Km/jam. Banyaknya
permintaan tidak dibarengi kekuatan produksi membuat Siata kudu putar otak.
Keterbatasan dana memaksa Siata bertemu sebuah pabrik manufacturing diBorgo,
dekat Bologna. Dikenal dengan nama Ducati. Ducati kala itu adalah sebuah pabrik
elektronik dan peralatan ketika pecah perang dunia diItalia. Kebetulan mereka
sedang mencari fasilitas dan karyawan, sehingga perjanjian akhirnya terjadi
diantara mereka (Siata dan Ducati). Produksi hanya 15 unit pada tahun 1946,
membengkak hingga 25,000unit ditahun berikutnya ketika Ducati telah mendapatkan
perjanjian eksklusif untuk berproduksi. Tercatat ditahun 1952, Cucciolos sudah
terjual sekitar 200,000 unit. Waktu terus berjalan. Ducati secara
berkesinambungan membenahi sepeda mesin mereka sampai Cucciolo berubah wujud
sedikit demi sedikit menjadi sepeda motor sesungguhnya. Dulunya hanya model 48,
55E, 55R…berganti menjadi sasis press baja yang sangat kuat. Mesinpun
ditingkatkan dari 48cc hingga 65cc lewat
varian 65sport/T/TL danTS . Generasi mesin Cucciola akhirnya secara bertahap
diganti dengan model “98″. Berdasarkan analisa dan survei model “65″ sudah kurang memenuhi keinginan mayoritas konsumen ditahun 1956 dimana
membutuhkan motor yang lebih bertenaga. Mas produksi dibarengi development
dunia racing. Sejarah mencatat pada tahun itu pula Ducati mampu menciptakan motor racing DOHC 125cc power 19hp lewat
teknologi Desmodromic silinder head sehingga mesin mampu teriak tembus 15ribu
rpm. Sedangkan waktu itu kompetitor lain
dengan diplacement yang sama average output power hanya sekitar 16hp maksimum
putaran 12,500rpm. Alhasil pada GP Hedemora Swedia (1956), Ducati menyalip
semua lawan dengan mudah. Itulah kemenangan pertama kali Ducati. Sayang Giani
Degli Antoni, pembalap andalan tim Bologna tewas ketika melakukan test di GP
Monza mengakibatkan proyek pengembangan Ducati racing tersendat hingga MV
Agusta mendominasi dunia balap sampai tahun 1958. Pada tahun 70an Ducati banyak
memproduksi motor-motor dengan kapasitas cc besar dengan mesin L-twin. Itulah sekilas sejarah dari pabrikan motor
Ducati.
Mengapa judul diatas aku namakan Ducati Anjing kecil karena arti dari
Cucciolo adalah anjing kecil atau Asu Cilik / Segawon Alit. Ducati Cucciolo
hasil pulunganku kali ini boleh terbilang sangat mengenaskan, hampir saja oleh
tukang rosok mau menjagalnya untungnya aku datang diwaktu yang tepat. Pertama
kali melihat motor nenek moyang motornya Valentino Rossi di Moto GP ini cukup mengenaskan terlihat berkarat disana sini dan teronggok disudut
pengepul besi tua. Motor ini aku beli seharga barang rongsokan dengan harga timbangan. Setelah aku mendapatkan si
anjing kecil ini aku restorasi besar-besaran dan hasilnyapun cukup memuaskankan
bagiku sehingga layak untuk penunggu
rumah dengan ditaruh diteras rumah. Si Anjing Kecil ini merupakan Cikal
bakal mesin Desmosedici yang terkenal galak di MotoGP itu. Sebuah usaha
melestarikan benda cagar budaya yang cukup menyenangkan…….
Kamis, 03 Mei 2012
DKW (Dampt Kraft Wagen) Motor Favoritku
Motor DKW adalah motor kedua yang aku miliki.
Motor ini aku beli pertengahan tahun 2008. Motor ini lengkapnya bernama DKW Auto Union RT
125H dengan kapasitas 125CC dengan
desain yang cukup bagus. Motor DKW adalah motor buatan Germany tahun 1956
karena model yang cukup bagus pada masanya sehingga banyak pabrikan di eropa menirukan
desain motor DKW. Motor ini dikalangan penggemar motor antik dijuluki sebagai "RAJA TOURING" karena kalo dipakai touring dengan jarak tempuh yang jauh motor ini termasuk bandel dan jarang pernah rewel . DKW kepanjangan dari Dampt Kraft Wagen. Sejarah
dari DKW sendiri adalah J.S.Rasmussen (1878-1964) seorang Engenier
berkebangsaan Denmark bersama seorang temannya pada tahun 1916 dan mendirikan sebuah
Perusahaan bernama “Zschopauer Maschinenfabric”. Awalnya mereka memproduksi kendaraan
bertenaga uap ber-merk “DampkraftWagen” .Baru setelah itu Ditahun 1919
perusahaan ini mecoba menciptakan sebuah mesin kecil 2-tak- yang dapat dipasang
di sepeda ,dengan menggunakan kulit
sebagai pengikatnya. Mesin-Mesin ini mereka beri nama“Das Knaben Wunder”. Tahun
1921 “Zschopauer Maschinenfabric” berganti nama menjadi “Motorenwerke
Rasmussen”, pada tahun 1922 mereka memproduksi Motor pertama mereka “Das Kline
Wunder” dan setelah itu Perusahaan ini berkembang dengan cepat. Inovasi
berikutnya berupa pembuatan sasis dengan system “press-steel-frames”
memungkinkan DKW berproduksi secara Massal . Mereka menjadi salah satu
perusahaan kendaraan Motor terbesar Dunia.. .Di tahun 1929 kapasitas produksi
“Motorenwerke Rasmussen” diperkirakan mencapai 60.000 unit pertahunnya. Di
tahun 1932 Motorenwerke Rasmussen berakuisisi dengan 3 perusahaan otomotif
lainnya Audi, Wanderer dan Horch menjadi “Auto Union” dengan lambang empat buah
lingkaran,seperti yang dapat kita lihat pada merk Mobil Audi sekarang. di tahun 1949 Perusahaan ini sudah mulai berproduksi kembali dengan
produksi pertamanya DKW RT-125 W (W untuk: War) yang diambil dari kesuksesan
type ini pada Perang sebelumnya.Type inilah yang ditiru banyak Perusahaan Motor
terkemuka Dunia karena keberhasilan daya tahannya pada perang sebelumnya. Era setelah PD ke
II, DKW kembali menjadi salah satu Pabrik Motor terkemuka. Seri seri RT-125 dan
lain seri RT Diperkirakan berhasil dipasarkan sebanyak 48.000 unit keseluruh
penjuru Dunia .Tapi hal ini tak berlangsung lama, Tahun 1958 Mayoritas Saham
DKW diambil alih oleh Perusaan terkemuka Daimler/Bens yang menggabungkan DKW,
dengan Victoria dan Express dibawah bendera “ Zweirad Union” . Mereka
memproduksi motor berkapasitas mesin kecil. Ditahun ini mereka meluncurkan “DKW
Hummell” untuk mencoba merebut pasar cc kecil ,serta scooter type Hoby dan
cukup berhasil. Akhir masa kejaya-an DKW mulai terlihat , setelah sempat dibeli oleh
Volkswagen Group, pada tahun 1966 Zweirad Union dibeli oleh Ficthel &
Sachs…..dimana Perusahaan ini menjual motor Herculess ke Inggris dan
Amerika…dan tidak l`gi menggunakan merk DKW .(sumber : DKWindonesia.com)
Kembali ke Motor DKW ku, Motor ini pernah menemaniku
kerja selama 2 bulan dengan menempuh jarak kurang lebih 50KM PP. Karena motor
ini kurang nyaman untuk dikendarai karena tanpa dilengkapan lampu sein, Lampu
Utama redup dan tidak ada spion (tahu sendiri motor-motor antik tidak ada
perlengkapan tersebut) akhirnya motor ini aku pensiunkan karena alasan Safety
Riding. Sebenarnya seneng dan banyak pengalaman memakai motor tua ini, pernah
suatu saat ada razia petugas dan aku
dihentikan tetapi tidak ditanya kelengkapan motornya tapi malah ditanya tahun berapa pembuatan motor
tersebut. Setelah tahu tahun pembuatan 1956 petugas tersebut kagum kok masih
ada motor tahun 1956 masih bisa jalan. Dan aku dipersilahkan meneruskan
perjalanan mungkin petugas tersebut tahu bahwa motor tersebut sudah termasuk cagar budaya sehingga patut
dipelihara bukan untuk dihancurkan. Tetapi ada pengalaman yang tidak enak tapi itulah
seni mengendarai motor antik pernah
suatu saat motorku mogok dijalan dan tidak bisa dihidupin akhirnya aku mencari
mobil pick up carteran untuk mengangkut
motorku sampai dirumah dengan ongkos 100 rb sampai rumah. Itulah cerita Antara
Aku dan DKW Motor favoritku......Lebih Enak menaiki Motor Tua Dari Pada Wani** Tua.....wkwkwkwkwkkwkwkwk
Kamis, 26 April 2012
Kesetiaan Honda C70
Mendengar kata Honda
pasti berpikir tentang Motor sejuta
umat, inilah sekilas tentang sejarah motor Honda , Motor Honda tidak terlepas dari tangan seorang
Soichiro Honda, sang pendiri. Soichiro Honda ini seorang pembalap, juga seorang
businessman dan juga seorang manufaktur sejati. Disamping semua itu yang paling
penting adalah Soichiro Honda itu adalah seorang pemimpi Dia
memimpikan membuat piston ring yang lebih baik. mendirikan sebuah perusahaan
kecil dan memprodujsinya. Barulah
pada tahun 1958 Seichiro Honda mendirikan pabrikan Honda bersama dengan Takeo
Fujikawa yang sangat mendukung dari sisi finansial. Bersama-sama mereka
mendirikan emperium Honda. Tahun
1953, Honda memproduksi motor 90cc, 4 stroke yang dikenal sebagai “Benly” atau
yang berarti nyaman. Motor ini mempunyai 3 speed gearbox, dan motor ini bisa
laku terjual sebanyak 1000 unit sebulan. Tahun 1957, Honda mengeluarkan untuk pertama kalinya twin cylinder
motorcycles, 250cc OHC, 4 stroke C70. Motor Honda C70 lumayan cukup canggih
dimasanya. Mulailah berbagai produk muncul .. seperti C71 dimana telah
menerapkan electric starter pada engine 250cc. Tahun 1959, Benly 125cc juga dikeluarkan dan sanggup mencapai kecepatan
110 km/h. Dan era keemasan Honda muncul pada bulan Juni 1958, yaitu dengan
dikeluarkannya C100 Super Cub yang disebut-sebut the most successful
motorcycles. Super Cub ini dikembangkan selama 3 tahun, agar murah dan gampang
dikendarai oleh siapapun. Motor ini menggunakan 50cc, OHC, 4 stroke,
centrifugal clutch dengan 3 transmisi kecepatan. Motor ini sangat mudah
dikendarai,.. bahkan bagi pemula sekalipun. Bentuk ini yang dikenal sebagai
bebek sekarang dan menjadi populer pada zamannya. Wanita pun mudah
mengendarainya. soalnya nggak perlu terhambat oleh bentuk konvensional motor
yang ada tanki bensin . Motor ini kemudian muncul berbagai versi 50cc, 70cc dan 90cc.
Motor Honda C70 warna merah tahun pembuatan 1973 ini adalah motor yang setia
menemaniku dalam mencari barang-barang antik. Mengapa aku pilih motor
ini karena alasannya motornya
alhamdulillah gak pernah mogok,enak dan tentu irit yang paling utama. Motor C70
adalah salah satu motor buatan jepang yang banyak penggemarnya dan menurutku
Motor dengan model yang cukup bagus dan tersukses sepanjang sejarah pabrikan
honda. Motor ini berkapasitas mesin 72cc. Motor ini handal dan cukup irit dengan bahan
bakar 1 liter bisa menempuh jarak kurang lebih 70km. Honda C70 memiliki keunggulan harga murah, irit dan handal. Pertama
kali diperkenalkan
di Asia pada tahun 1970, dengan kapasitas mesin 72cc dan berpendingin udara , mesin tunggal, semi-otomatis 3-speed gearbox, dan tenaga kuda yang
cukup untuk menarik sepeda ini ke kecepatan tertinggi 50 mph (80 km / jam).
Model pertama memiliki 6 v listrik, pada tahun 1982, 12 v listrik dan pengapian
CDI diperkenalkan untuk lebih meningkatkan kinerja mesin. Semua model memiliki
rantai penuh-tertutup drive untuk kurang pemeliharaan.
Spesifikasi:
Pemindahan : 72 cm ³
Mesin : 4 langkah
Pengapian : poin Breaker
Transmisi : 3-speed dengan kopling
semi-otomatis
Sistem
bahan bakar : Karburator
Katup : 2 katup / silinder
Top
Speed : 80 km / jam (50
mph)
Listrik : 6 Volt
Setiap kali memakai motor ini selalu ada saja
orang yang bertanya apa motor c70 ini dijual dan pasti aku jawab “maaf tidak dijual”. Banyak orang kagum karena aksesoris motor ini lengkap 100% dan tingkat keorisinilannya mencapai 90% atau hanya cat dan bannya saja yang tidak orisinil. Walupun
kamu berumur 6 tahun lebih tua dariku aku tetap setiap kepadamu honda
C70ku.........................Makin Tua Makin Banyak Santannya...ha...ha.....ha....ha....
Minggu, 22 April 2012
Zundapp Motor Pertamaku
Motor Zundapp super
combinette buatan tahun 1962 adalah motor antik pertamaku. Motor ini
berkapasitas mesin 50cc. Model dari motor ini unik karena model trapnya
menggunakan pedal mirip sepeda onthel. Dan pedal itu selain berfungsi untuk menghidupkan mesin
juga berfungsi sebagai rem . Aku masih ingat betul waktu
itu tahun 2006 Baru saja anakku pertama lahir. Waktu itu aku masih ditugaskan
diluar kota sehingga tiap hari harus Pulang-Pergi. Dalam perjalanan dengan bus aku melihat tempat tambal ban samping
kantor Dishub ada sebuah motor antik ditulisi dijual. Aku melihat 1 minggu belum laku, pada suatu hari aku
berniat tanya berapa sih harga motor tersebut sehingga aku dalam perjalanan pulang
aku sempatkan turun bus untuk bertanya motor tersebut. Aku pun bertanya ke si
pemilik motor dan pemilik motor
bilang bahwa motor tersebut harganya pas 2 juta. Setelah
itu aku pulang tanpa berani lagi tanya karena harganya pas 2 juta, padahal aku
waktu itu pegang uang 1, 350 karena
sebagai karyawan dengan gaji yang pas-pasan sebagian tabunganku habis juga untuk membeli berbagai peralatan
bagi anak pertamaku. Pikirku kalo memang
motor itu rejekiku pasti kena aku.
Setelah beberapa minggu setelah itu ternyata motor tersebut sudah tidak
ada lagi ditempat tambal ban alias
sudah terjual.
Akhirnya membuyarkan angan-anganku untuk memiliki motor Antik. Dengan peristiwa
itu aku tiap bulan menyisihkan penghasilanku agar aku memiliki dana untuk bisa
membeli motor antik. Beberapa bulan
berjalan setelah peristiwa itu pada hari sabtu tepatnya bulan agustus 2006 seperti biasa aku jalan-jalan ke Pasar
loak dan pada hari itu aku melihat ditempat samping jualan jual beli besi tua
ada sepeda motor Zundapp dijual. Aku berkenalan ke pemiliknya dan bertanya
kepadanya berapa motornya dijual.Motor tersebut dijual dengan harga 2,2 juta
aku tawar mulai dari 1,5 juta dan akhirnya sepakat diharga 1,850 juta. Tanpa
pikir panjang motor tersebut aku beli dengan syarat kepada pemiliknya untuk
menyajari aku cara menggunakan motor tersebut karena waktu itu aku blom
bisa/tahu cara mengoperasikan motor itu. Setelah beberapa jam diajari akhirnya
aku bisa mengoperasikannya. Memang motor antik itu banyak seninya karena cara menggunakan
motor ini ada teknik-teknik tersendiri. Itulah pengalaman yang berkesan bagiku
dalam menekuni dunia motor antik sampai sekarang dan pemilik zundapp itu sampai
saat ini jadi montir untuk motor-motor antikku apabila ada yang rusak ato
kurang enak dipakai. Motor Zundapp pertamaku ini pernah ditawar teman jakarta
walaupun memang dari nilai uangnya aku sudah untung tetapi tidak aku lepas karena memang tidak aku jual karena mengingat
usaha yang aku lakukan untuk membeli motor zundapp pertamaku ini penuh perjuangan.
Usaha atau kenangan cara mendapatkan motor ini
yang tidak dapat dinilai dengan uang berapun. Sejarah dari dari Motor Zundapp, sepeda motor
pertama Zundapp adalah Z22 pada tahun 1921. Dengan desain yang simple dan dapat
diandalkan serta diproduksi dengan berbagai seri.Sejarah motor Besar Zundappp
dimulai pada tahun 1938 dengan K-series. (K singkatan dari
"Kardanantrieb" yakni driveshaft ditutupi dengan dua sendi universal,
jenis drivetrain, yang menampilkan model ini). Setelah
Perang Dunia II, perusahaan secara bertahap dialihkan ke mesin-mesin produksi
yang lebih kecil, misalnya dengan "Bella" motorscooter, masih relatif
mesin berat untuk tipe itu. Akhir dari motor besar, dan mengidikasikan juga
salah satu model paling terkenal, dirilis pada 1951: di KS601 dengan 598 cc dua
silinder mesin. Pada tahun 1958 perusahaan dipindahkan dari
Nurnberg ke Munich. Kemudian, perusahaan mengembangkan beberapa model baru yang
lebih kecil, berhenti mengembangkan mesin 4-tak dan hanya memproduksi model
2-tak. Awalnya, Zündapp dan scooters mopeds terjual dengan baik, tetapi
kemudian penjualan menurun, dan pada tahun 1984, perusahaan itu bangkrut dan
ditutup dan sebelum tahun 70an merupakan motor yang cukup
populer di Indonesia sebelum motor-motor buatan jepang merajai pasaran di
Indonesia....Jangan Pernah merasa bahagia sebelum memiliki Motor
Tua........................
Rabu, 04 April 2012
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
CAGAR BUDAYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan
perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat
melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan
kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. bahwa untuk melestarikan cagar budaya, Negara
bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
cagar budaya;
c. bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur,
situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan
peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar
budaya;
d. bahwa dengan adanya perubahan paradigm pelestarian
cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan
ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan,
dan kebutuhan hokum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Cagar Budaya;
Mengingat : Pasal
20, Pasal 21, Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG CAGAR BUDAYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam
dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan
erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manuria.
3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang
terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan
ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan
yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi
kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk
menampung kebutuhan manusia.
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada
di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, dan/atau Struktur Cagar Buday` sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti
kejadian pada masa lalu.
6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis
yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan
dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
7. Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap
Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk
melestarikannya.
8. Penguasaan adalah pemberian wewenang dari
pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola
Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
9. Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan
tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan
hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya.
10. Pengalihan adalah proses pemindahan hak kepemilikan
dan/atau penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang kepada setiap orang lain
atau kepada negara.
11.
Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
12. Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan,
atau bentuk lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
13. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian
dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi
penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
14. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang
karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang
Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
15. Kurator adalah orang yang karena kompetensi keahliannya
bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.
16. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan,
struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar
Budaya kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan Indonesia di luar
negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar Budaya.
17. Penetapan adalah pemberian status Cagar
Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis
yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli
Cagar Budaya.
18. Register Nasional Cagar Budaya adalah daftar
resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya yang berada di dalam dan di
luar negeri.
19. Penghapusan adalah tindakan menghapus status Cagar
Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya.
20. Cagar Budaya Nasional adalah Cagar Budaya peringkat
nasional yang ditetapkan Menteri sebagai prioritas nasional.
21. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan
pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan
rakyat.
22. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkannya.
23. Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi
dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan,
Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
24. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau
menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
25. Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar
Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.
26. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan
Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
27. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat
agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.
28. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi
fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan
untuk memperpanjang usianya.
29. Pengembangan adalah peningkatan potensi
nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui
Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan
dengan tujuan Pelestarian.
30. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang
dilakukan menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk memperoleh informasi,
data, dan keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan,
dan pengembangan kebudayaan.
31. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan
yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya
dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian
dan nilai budaya masyarakat.
32. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar
Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan
melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya
atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
33. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya
untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap
mempertahankan kelestariannya.
34. Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi
langsung terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur
Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
35. Setiap orang adalah perseorangan, kelompok
orang, masyarakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan
berbadan hukum.
36. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati,
atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kebudayaan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP
Pasal 2
Pelestarian Cagar Budaya
berasaskan:
a. Pancasila;
b. Bhinneka Tunggal Ika;
c. kenusantaraan;
d. keadilan;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kemanfaatan;
g. keberlanjutan;
h. partisipasi; dan
i. transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 3
Pelestarian Cagar Budaya
bertujuan:
a. melestarikan warisan budaya bangsa dan
warisan umat manusia;
b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa
melalui Cagar Budaya;
c. memperkuat kepribadian bangsa;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat
internasional.
Pasal 4
Lingkup Pelestarian Cagar Budaya
meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan
di air.
BAB III
KRITERIA CAGAR BUDAYA
Bagian Kesatu
Benda, Bangunan, dan Struktur
Pasal 5
Benda, bangunan, atau struktur
dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur
Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50
(lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa.
Pasal 6
Benda Cagar Budaya dapat:
a. berupa benda alam dan/atau benda buatan
manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat
dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia;
b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
c. merupakan kesatuan atau kelompok.
Pasal 7
Bangunan Cagar Budaya dapat:
a.
berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. berdiri
bebas atau menyatu dengan formasi alam.
Pasal 8
Struktur Cagar Budaya dapat:
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. sebagian atau seluruhnya menyatu dengan
formasi alam.
Bagian Kedua
Situs dan Kawasan
Pasal 9
Lokasi dapat ditetapkan sebagai
Situs Cagar Budaya apabila:
a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan
b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada
masa lalu.
Pasal 10
Satuan ruang geografis dapat
ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:
a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau
lebih yang letaknya berdekatan;
b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia
berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi
ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu
pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;
e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap
budaya; dan
f. memiliki lapisan tanah terbenam yang
mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.
Pasal 11
Benda, bangunan, struktur,
lokasi, atau satuan ruang geografis yang atas dasar penelitian memiliki arti
khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia, tetapi tidak lemenuhi kriteria
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat
diusulkan sebagai Cagar Budaya.
BAB IV
PEMILIKAN DAN PENGUASAAN
Pasal 12
(1) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau
Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai
Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah
memenuhi kebutuhan negara.
(3) Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah,
pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai
oleh Negara.
(4) Pemilik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya yang tidak ada ahli warisnya
atau tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau
hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Kawasan Cagar Budaya hanya dapat
dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki
oleh masyarakat hukum adat.
Pasal 14
(1) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing tidak
dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya, kecuali warga negara asing
dan/atau badan hukum asing yang tinggal dan menetap di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang membawa Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya,
ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 15
Cagar Budaya yang tidak diketahui
kepemilikannya dikuasai oleh Negara.
Pasal 16
(1) Cagar Budaya yang dimiliki setiap orang dapat dialihkan
kepemilikannya kepada negara atau setiap orang lain.
(2) Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan
atas pengalihan kepemilikan Cagar Budaya.
(3) Pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan,
dihadiahkan, dijual, diganti rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan.
(4) Cagar Budaya yang telah dimiliki oleh Negara
tidak dapat dialihkan kepemilikannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Setiap orang dilarang mengalihkan kepemilikan Cagar
Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota,
baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur,
atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya bergerak yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau setiap orang dapat disimpan dan/atau dirawat di museum.
(2) Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda,
bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau
yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.
(3) Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan koleksi
museum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah tanggung jawab
pengelola museum.
(4) Dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), museum wajib memiliki Kurator.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar
Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang
dimiliki dan/atau dikuasainya rusak, hilang, atau musnah wajib melaporkannya
kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisi`n Negara Republik
Indonesia, dan/atau instansi terkait.
(2) Setiap orang yang tidak melapor rusaknya Cagar
Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya kepada instansi yang berwenang di
bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi
terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang
dimiliki dan/atau dikuasainya tersebut rusak dapat diambil alih pengelolaannya
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 20
Pengembalian Cagar Budaya asal
Indonesia yang ada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan
oleh Pemerintah sesuai dengan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi,
perjanjian bilateral, atau diserahkan langsung oleh pemiliknya, kecuali diperjanjikan
lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi,
atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita oleh
aparat penegak hukum dilarang dimusnahkan atau dilelang.
(2) Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi,
atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilindungi oleh aparat penegak hukum sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(3) Dalam melakukan Pelindungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), aparat penegak hokum dapat meminta bantuan kepada instansi yang berwenang
di bidang kebudayaan.
Pasal 22
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar
Budaya berhak memperoleh Kompensasi apabila telah melakukan kewajibannya
melindungi Cagar Budaya.
(2) Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan
dan/atau pajak penghasilan dapat diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah kepada pemilik Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan Cagar Budaya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kompensasi
dan Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENEMUAN DAN PENCARIAN
Bagian Kesatu
Penemuan
Pasal 23
(1) Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda
Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur
Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib
melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak ditemukannya.
(2) Temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak dilaporkan oleh penemunya dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), instansi yang berwen`ng di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap
temuan.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila
benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang ditemukannya ditetapkan sebagai
Cagar Budaya.
(2) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara.
(3) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak langka jenisnya, tidak
unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara, dapat dimiliki
oleh penemu.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penemuan Cagar Budaya dan kompensasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pencarian
Pasal 26
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda,
bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.
(2) Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya
dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau
pengangkatan di darat dan/atau di air.
(3) Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) hanya dapat dilakukan melalui penelitian dengan tetap
memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan lokasi.
(4) Setiap orang dilarang melakukan pencarian
Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau
pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VI
REGISTER NASIONAL CAGAR BUDAYA
Bagian Kesatu
Pendaftaran
Pasal 28
Pemerintah kabupaten/kota bekerja
sama dengan setiap orang dalam melakukan Pendaftaran.
Pasal 29
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar
Budaya wajib mendaftarkannya kepada pemerintah kabupaten/kota tanpa dipungut
biaya.
(2) Setiap orang dapat berpartisipasi dalam
melakukan pendaftaran terhadap benda, bangunan, struktur, dan lokasi yang
diduga sebagai Cagar Budaya meskipun tidak memiliki atau menguasainya.
(3) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pendaftaran
Cagar Budaya yang dikuasai oleh Negara atau yang tidak diketahui pemiliknya
sesuai dengan tingkat kewenangannya.
(4) Pendaftaran Cagar Budaya di luar negeri dilaksanakan
oleh perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(5) Hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus dilengkapi dengan deskripsi dan
dokumentasinya.
(6) Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya dapat diambil alih oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 30
Pemerintah memfasilitasi
pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau
nondigital.
Bagian Kedua
Pengkajian
Pasal 31
(1) Hasil pendaftaran diserahkan kepada Tim Ahli Cagar
Budaya untuk dikaji kelayakannya sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
(2) Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur,
lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai
Cagar Budaya.
(3) Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan:
a. Keputusan Menteri untuk tingkat nasional;
b. Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi;
dan
c. Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat kabupaten/kota.
(4) Dalam melakukan kajian, Tim Ahli Cagar Budaya dapat
dibantu oleh unit pelaksana teknis atau satuan kerja perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang Cagar Budaya.
(5) Selama
proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau
yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.
Pasal 32
Pengkajian terhadap koleksi
museum yang didaftarkan dilakukan oleh Kurator dan selanjutnya diserahkan kepada
Tim Ahli Cagar Budaya.
Bagian Ketiga
Penetapan
Pasal 33
(1) Bupati/wali kota mengeluarkan penetapan status
Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi diterima dari
Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi,
dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.
(2) Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar
Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa:
a. surat keterangan status Cagar Budaya; dan
b. surat keterangan kepemilikan berdasarkan
bukti yang sah.
(3) Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang
telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya berhak mendapat Kompensasi.
Pasal 34
(1) Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang
berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih ditetapkan sebagai Cagar Budaya
provinsi.
(2) Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang
berada di 2 (dua) provinsi atau lebih ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional.
Pasal 35
Pemerintah kabupaten/kota
menyampaikan hasil penetapan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya diteruskan
kepada Pemerintah.
Pasal 36
Benda, bangunan, struktur,
lokasi, atau satuan ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau
bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pasal 11 dapat ditetapkan sebagai Cagar
Budaya dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Gubernur setelah memperoleh
rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.
Bagian Keempat
Pencatatan
Pasal 37
(1) Pemerintah membentuk sistem Register Nasional Cagar
Budaya untuk mencatat data Cagar Budaya.
(2) Benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang
geografis yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya harus dicatat di dalam
Register Nasional Cagar Budaya.
Pasal 38
Koleksi museum yang memenuhi
kriteria sebagai Cagar Budaya dicatat di dalam Register Nasional Cagar Budaya.
Pasal 39
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi tentang Cagar
Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan data yang dianggap
perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya
yang datanya berasal dari instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan luar
negeri menjadi tanggung jawab Menteri.
(2) Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya di daerah
sesuai dengan tingkatannya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
Register Nasional Cagar Budaya yang dikelola oleh pemerintah provinsi.
(4) Pemerintah provinsi melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap Register Nasional Cagar Budaya yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
Bagian Kelima
Pemeringkatan
Pasal 41
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dapat melakukan pemeringkatan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi
peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota
berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
Pasal 42
Cagar Budaya dapat ditetapkan
menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai:
a. wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
b. karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan
bangsa Indonesia;
c. Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya,
unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia;
d. bukti evolusi peradaban bangsa serta
pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun
yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e. contoh penting kawasan permukiman
tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang
terancam punah.
Pasal 43
Cagar Budaya dapat ditetapkan
menjadi Cagar Budaya peringkat provinsi apabila memenuhi syarat:
a. mewakili kepentingan pelestarian Kawasan
Cagar Budaya lintas kabupaten/kota;
b. mewakili karya kreatif yang khas dalam
wilayah provinsi;
c. langka jenisnya, unik rancangannya, dan
sedikit jumlahnya di provinsi;
d. sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran
budaya lintas wilayah kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih
hidup di masyarakat; dan/atau
e. berasosiasi dengan tradisi yang masih
berlangsung.
Pasal 44
Cagar Budaya dapat ditetapkan
menjadi Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota apabila memenuhi syarat:
a. sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan
dalam wilayah kabupaten/kota;
b. mewakili masa gaya yang khas;
c. tingkat keterancamannya tinggi;
d. jenisnya sedikit; dan/atau
e. jumlahnya terbatas.
Pasal 45
Pemeringkatan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 untuk tingkat nasional ditetapkan dengan
Keputusan Menteri, tingkat provinsi dengan Keputusan Gubernur, atau tingkat
kabupaten/kota dengan Keputusan Bupati/Wali Kota.
Pasal 46
Cagar Budaya peringkat nasional
yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional dapat diusulkan oleh Pemerintah
menjadi warisan budaya dunia.
Pasal 47
Cagar Budaya yang tidak lagi
memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi,
atau peringkat kabupaten/kota dapat dikoreksi peringkatnya berdasarkan
rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di setiap tingkatan.
Pasal 48
Peringkat Cagar Budaya dapat
dicabut apabila Cagar Budaya:
a. musnah;
b. kehilangan wujud dan bentuk aslinya;
c. kehilangan sebagian besar unsurnya; atau
d. tidak lagi sesuai dengan syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, Pasal 43, atau Pasal 44.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemeringkatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Penghapusan
Pasal 50
(1) Cagar Budaya yang sudah tercatat dalam
Register Nasional hanya dapat dihapus dengan Keputusan Menteri atas rekomendasi
Tim Ahli Cagar Budaya di tingkat Pemerintah.
(2) Keputusan penghapusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 51
(1) Penghapusan Cagar Budaya dari Register
Nasional Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan apabila
Cagar Budaya:
a. musnah;
b. hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun
tidak ditemukan;
c. mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan
keasliannya; atau
d. di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar
Budaya.
(2) Penghapusan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional
Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya.
(3) Dalam hal Cagar Budaya yang hilang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan kembali, Cagar Budaya wajib dicatat
ulang ke dalam Register Nasional Cagar Budaya.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Register Nasional Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PELESTARIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 53
(1) Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan
hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis,
dan administratif.
(2) Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan
atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.
(3) Tata cara Pelestarian Cagar Budaya harus mempertimbangkan
kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian.
(4) Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan
pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keasliannya.
Pasal 54
Setiap orang berhak memperoleh
dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas
upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.
Pasal 55
Setiap orang dilarang dengan
sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar
Budaya.
Bagian Kedua
Pelindungan
Pasal 56
Setiap orang dapat berperan serta
melakukan Pelindungan Cagar Budaya.
Paragraf 1
Penyelamatan
Pasal 57
Setiap orang berhak melakukan
Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan
darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan.
Pasal 58
(1) Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk:
a. mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau
alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya;
dan
b. mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan
dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan dalam keadaan darurat dan keadaan biasa.
Pasal 59
(1) Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau
musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman.
(2) Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya
di bawah koodinasi Tenaga Ahli Pelestarian.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap
orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari
pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Penyelamatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Pengamanan
Pasal 61
(1) Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah
Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah.
(2) Pengamanan Cagar Budaya merupakan kewajiban pemilik
dan/atau yang menguasainya.
Pasal 62
(1) Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 dapat dilakukan oleh juru pelihara dan/atau polisi khusus.
(2) Polisi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berwenang:
a. melakukan patroli di dalam Kawasan Cagar Budaya
sesuai dengan wilayah hukumnya;
b. memeriksa surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya;
c. menerima dan membuat laporan tentang telah terjadinya
tindak pidana terkait dengan Cagar Budaya serta meneruskannya kepada instansi yang
berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
instansi terkait; dan
d. menangkap tersangka untuk diserahkan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 63
Masyarakat dapat berperan serta
melakukan Pengamanan Cagar Budaya.
Pasal 64
Pengamanan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus memperhatikan pemanfaatannya
bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama,
kebudayaan, dan/atau pariwisata.
Pasal 65
Pengamanan Cagar Budaya dapat dilakukan
dengan memberi pelindung, menyimpan, dan/atau menempatkannya pada tempat yang
terhindar dari gangguan alam dan manusia.
Pasal 66
(1) Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya,
baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari
letak asal.
(2) Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya,
baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari
letak asal.
Pasal 67
(1) Setiap orang dilarang memindahkan Cagar Budaya
peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2) Setiap orang dilarang memisahkan Cagar Budaya peringkat
nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh
maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pelerintah.
Pasal 68
(1) Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagianbagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk kepentingan penelitian, promosi kebudayaan, dan/atau pameran.
(2) Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kecuali dengan izin Menteri.
Pasal 69
(1) Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagianbagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah provinsi atau
kabupaten/kota untuk kepentingan penelitian, promosi kebudayaan, dan/atau pameran.
(2) Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kecuali dengan izin gubernur atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan
Pasal 69 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Pengamanan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Zonasi
Pasal 72
(1) Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan
batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan
hasil kajian.
(2) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh:
a. Menteri apabila telah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih;
b. gubernur apabila telah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau
c. bupati/wali kota sesuai dengan keluasan
Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.
(3) Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan
untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.
Pasal 73
(1) Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar
Budaya, baik vertikal maupun horizontal.
(2) Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat
dilakukan terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di
air.
(3) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat terdiri atas:
a. zona inti;
b. zona penyangga;
c. zona pengembangan; dan/atau
d. zona penunjang.
(4) Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan
berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara penetapan sistem Zonasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Pemeliharaan
Pasal 75
(1) Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya
yang dimiliki dan/atau dikuasainya.
(2) Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik dan/atau
yang menguasainya dapat dikuasai oleh Negara.
Pasal 76
(1) Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar
Budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau
perbuatan manusia.
(2) Pemeliharaan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan di lokasi asli atau di tempat lain, setelah lebih
dahulu didokumentasikan secara lengkap.
(3) Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan
memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi
Cagar Budaya.
(4) Perawatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai
ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat
atau menempatkan juru pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Cagar
Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5
Pemugaran
Pasal 77
(1) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar
Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki,
memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi,
rehabilitasi, dan restorasi.
(2) Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan:
a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau
teknologi pengerjaan;
b. kondisi semula dengan tingkat perubahan
sekecil mungkin;
c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak
bersifat merusak; dan
d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
(3) Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian
pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan
Cagar Budaya.
(4) Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis
mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar
Budaya wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran
Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengembangan
Paragraf 1
Umum
Pasal 78
(1) Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan
prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang
melekat padanya.
(2) Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar
Budaya setelah memperoleh:
a. izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
b. izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.
(3) Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang
hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
(4) Setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya
harus disertai dengan pendokumentasian.
Paragraf 2
Penelitian
Pasal 79
(1) Penelitian dilakukan pada setiap rencana pengembangan
Cagar Budaya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan
nilai-nilai budaya.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Cagar Budaya melalui:
a. penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan;
dan
b. penelitian terapan untuk pengembangan
teknologi atau tujuan praktis yang bersifat aplikatif.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sebagai bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan atau berdiri
sendiri.
(4) Proses dan hasil Penelitian Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk kepentingan meningkatkan informasi dan promosi
Cagar Budaya.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah, atau penyelenggara
penelitian menginformasikan dan mempublikasikan hasil penelitian kepada masyarakat.
Paragraf 3
Revitalisasi
Pasal 80
(1) Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan
Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau
lanskap budaya asli berdasarkan kajian.
(2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan
informasi tentang Cagar Budaya.
Pasal 81
(1) Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang
Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat
provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya,
kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 82
Revitalisasi Cagar Budaya harus
memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan
ciri budaya lokal.
Paragraf 4
Adaptasi
Pasal 83
(1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya
dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar
Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah
Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada
Cagar Budaya;
b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi
asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Pengembangan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemanfaatan
Pasal 85
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap
orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial,
pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang.
(3) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa
izin Pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau
pelatihan.
(4) Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan
pendapatan masyarakat.
Pasal 86
Pemanfaatan yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau
analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 87
(1) Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak
berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
(2) Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau
menguasainya.
Pasal 88
(1) Pemanfaatan lokasi temuan yang telah
ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya wajib memperhatikan fungsi ruang dan
pelindungannya.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menghentikan
pemanfaatan atau membatalkan izin pemanfaatan Cagar Budaya apabila pemilik dan/atau
yang menguasai terbukti melakukan perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar Budaya.
(3) Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan
harus dikembalikan seperti keadaan semula sebelum dimanfaatkan.
(4) Biaya pengembalian seperti keadaan semula dibebankan
kepada yang memanfaatkan Cagar Budaya.
Pasal 89
Pemanfaatan dengan cara
perbanyakan Benda Cagar Budaya yang tercatat sebagai peringkat nasional, peringkat
provinsi, peringkat kabupaten/kota hanya dapat dilakukan atas izin Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 90
Pemanfaatan dengan cara
perbanyakan Benda Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang atau
dikuasai negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 91
Pemanfaatan koleksi berupa Cagar
Budaya di museum dilakukan untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata.
Pasal 92
Setiap orang dilarang
mendokumentasikan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya untuk kepentingan
komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya.
Pasal 93
(1) Setiap orang dilarang memanfaatkan Cagar
Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota,
baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dengan cara perbanyakan, kecuali dengan
izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Pemanfaatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 95
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai
tugas melakukan Pelindungan,Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
tingkatannya mempunyai tugas:
a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat
dalam Pengelolaan Cagar Budaya;
b. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat
menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
c. menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan
Cagar Budaya;
d. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
e. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
f. memfasilitasi setiap orang dalam
melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;
g. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam
keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan
sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami
bencana;
h. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
terhadap Pelestarian warisan budaya; dan
i. mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian
Cagar Budaya.
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 96
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
tingkatannya mempunyai wewenang:
a. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;
b. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara
lintas sektor dan wilayah;
c. menghimpun data Cagar Budaya;
d. menetapkan peringkat Cagar Budaya;
e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;
g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian
Cagar Budaya;
h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
i. mengelola Kawasan Cagar Budaya;
j. mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis
bidang Pelestarian, Penelitian, dan museum;
k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di
bidang kepurbakalaan;
l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang
telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;
m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya
untuk kepentingan Pengamanan;
n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;
o. menetapkan batas situs dan kawasan; dan
p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses
pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya.
(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah berwenang:
a. menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian
Cagar Budaya;
b. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada
di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;
c. menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar
Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;
d. mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan
dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan
e. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 97
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
pengelolaan Kawasan Cagar Budaya.
(2) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar
Budaya dan kehidupan sosial.
(3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat hokum adat.
(4) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia
usaha, dan masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan
Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 98
(1) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung
jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. hasil pemanfaatan Cagar Budaya; dan/atau
d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
mengalokasikan anggaran untuk Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan
Kompensasi Cagar Budaya dengan memperhatikan prinsip proporsional.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana
cadangan untuk Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan
yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
BAB X
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 99
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
terhadap pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan kewenangannya.
(2) Masyarakat ikut berperan serta dalam
pengawasan Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 100
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan
pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana
Cagar Budaya.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana Cagar Budaya;
b. melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian perkara;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan terhadap
barang bukti tindak pidana Cagar Budaya;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
h. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. membuat dan menandatangi berita acara; dan
j. mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak
terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Cagar Budaya.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 101
Setiap orang yang tanpa izin
mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang dengan sengaja
tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang tanpa izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang dengan sengaja
merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 106
(1) Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menadah hasil pencurian
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang tanpa izin
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota, memindahkan Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud dalam Paral 67 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 108
Setiap orang yang tanpa izin
Menteri, gubernur atau bupati/wali kota, memisahkan Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 109
(1) Setiap orang yang tanpa izin Menteri, membawa Cagar
Budaya ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
(2) Setiap orang yang tanpa izin gubernur atau
izin bupati/wali kota, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah provinsi atau
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang tanpa izin
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya
dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 111
Setiap orang yang tanpa izin
pemilik dan/atau yang menguasainya, mendokumentasikan Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 112
Setiap orang yang dengan sengaja
memanfaatkan Cagar Budaya dengan cara perbanyakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
(1) Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha berbadan
hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana.
(2) Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha berbadan
hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dipidana dengan ditambah 1/3
(sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai
dengan Pasal 112.
(3) Tindak pidana yang dilakukan orang yang member
perintah untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan ditambah 1/3
(sepertiga) dari pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan
Pasal 112.
Pasal 114
Jika pejabat karena melakukan
perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada
waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana
yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar
Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115
(1) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini, terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101 sampai dengan Pasal 114 dikenai tindakan pidana tambahan berupa:
a. kewajiban mengembalikan bahan, bentuk, tata letak,
dan/atau teknik pengerjaan sesuai dengan aslinya atas tanggungan sendiri;
dan/atau
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana.
(2) Selain
pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap badan usaha
berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum dikenai tindakan
pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
Pengelolaan Cagar Budaya yang
telah memiliki izin wajib menyesuaikan ketentuan persyaratan berdasarkan Undang-Undang
ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 117
Peraturan perundang-undangan
sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 118
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
(LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3470) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.
Pasal 119
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3470) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 120
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Langganan:
Postingan (Atom)