Kamis, 26 April 2012

Kesetiaan Honda C70



Mendengar kata Honda pasti  berpikir tentang Motor sejuta umat, inilah sekilas tentang sejarah motor Honda , Motor  Honda tidak terlepas dari tangan seorang Soichiro Honda, sang pendiri. Soichiro Honda ini seorang pembalap, juga seorang businessman dan juga seorang manufaktur sejati. Disamping semua itu yang paling penting adalah Soichiro Honda itu adalah seorang pemimpi   Dia memimpikan membuat piston ring yang lebih baik. mendirikan sebuah perusahaan kecil dan memprodujsinya. Barulah pada tahun 1958 Seichiro Honda mendirikan pabrikan Honda bersama dengan Takeo Fujikawa yang sangat mendukung dari sisi finansial. Bersama-sama mereka mendirikan emperium Honda. Tahun 1953, Honda memproduksi motor 90cc, 4 stroke yang dikenal sebagai “Benly” atau yang berarti nyaman. Motor ini mempunyai 3 speed gearbox, dan motor ini bisa laku terjual sebanyak 1000 unit sebulan. Tahun 1957, Honda mengeluarkan untuk pertama kalinya twin cylinder motorcycles, 250cc OHC, 4 stroke C70. Motor Honda C70 lumayan cukup canggih dimasanya. Mulailah berbagai produk muncul .. seperti C71 dimana telah menerapkan electric starter pada engine 250cc. Tahun 1959, Benly 125cc juga dikeluarkan dan sanggup mencapai kecepatan 110 km/h. Dan era keemasan Honda muncul pada bulan Juni 1958, yaitu dengan dikeluarkannya C100 Super Cub yang disebut-sebut the most successful motorcycles. Super Cub ini dikembangkan selama 3 tahun, agar murah dan gampang dikendarai oleh siapapun. Motor ini menggunakan 50cc, OHC, 4 stroke, centrifugal clutch dengan 3 transmisi kecepatan. Motor ini sangat mudah dikendarai,.. bahkan bagi pemula sekalipun. Bentuk ini yang dikenal sebagai bebek sekarang dan menjadi populer pada zamannya. Wanita pun mudah mengendarainya. soalnya nggak perlu terhambat oleh bentuk konvensional motor yang ada tanki bensin . Motor ini kemudian muncul berbagai versi  50cc, 70cc dan 90cc.
Motor Honda  C70  warna merah tahun pembuatan 1973 ini adalah motor yang setia menemaniku dalam mencari barang-barang  antik. Mengapa aku pilih motor ini karena alasannya  motornya alhamdulillah gak pernah mogok,enak dan tentu irit yang paling utama. Motor C70 adalah salah satu motor buatan jepang yang banyak penggemarnya dan menurutku Motor dengan model yang cukup bagus dan tersukses sepanjang sejarah pabrikan honda. Motor ini berkapasitas mesin 72cc. Motor ini handal dan cukup irit dengan bahan bakar 1 liter bisa menempuh jarak kurang lebih 70km. Honda C70 memiliki keunggulan harga  murah, irit dan handal. Pertama kali  diperkenalkan di  Asia pada tahun 1970, dengan kapasitas mesin 72cc dan berpendingin udara , mesin tunggal, semi-otomatis 3-speed gearbox, dan tenaga kuda yang cukup untuk menarik sepeda ini ke kecepatan tertinggi 50 mph (80 km / jam). Model pertama memiliki 6 v listrik, pada tahun 1982, 12 v listrik dan pengapian CDI diperkenalkan untuk lebih meningkatkan kinerja mesin. Semua model memiliki rantai penuh-tertutup drive untuk kurang pemeliharaan.
Spesifikasi:
Pemindahan              : 72 cm ³
Mesin                        : 4 langkah
Pengapian                 : poin Breaker
Transmisi                  : 3-speed dengan kopling semi-otomatis
Sistem bahan bakar  : Karburator
Katup                         : 2 katup / silinder
Top Speed                  : 80 km / jam (50 mph)
Listrik                        : 6 Volt
Setiap kali memakai motor ini selalu ada saja orang yang bertanya apa motor c70 ini dijual dan pasti aku jawab maaf tidak dijual”.  Banyak orang kagum karena aksesoris motor ini lengkap 100% dan  tingkat keorisinilannya mencapai 90% atau  hanya cat dan bannya saja yang tidak orisinil. Walupun kamu berumur 6 tahun lebih tua dariku aku tetap setiap kepadamu honda C70ku.........................Makin Tua Makin Banyak Santannya...ha...ha.....ha....ha....

Minggu, 22 April 2012

Zundapp Motor Pertamaku



Motor Zundapp super combinette buatan tahun 1962 adalah motor antik pertamaku. Motor ini berkapasitas mesin 50cc. Model dari motor ini unik karena model trapnya menggunakan pedal mirip sepeda onthel. Dan pedal  itu selain berfungsi untuk menghidupkan mesin juga berfungsi sebagai rem . Aku masih ingat betul waktu itu tahun 2006 Baru saja anakku pertama lahir. Waktu itu aku masih ditugaskan diluar kota sehingga tiap hari harus Pulang-Pergi. Dalam perjalanan dengan bus aku melihat tempat tambal ban samping kantor Dishub ada sebuah motor antik ditulisi dijual. Aku melihat 1 minggu belum laku, pada suatu hari aku berniat tanya berapa sih harga motor tersebut sehingga aku  dalam perjalanan  pulang aku sempatkan turun bus untuk bertanya motor tersebut. Aku pun bertanya ke si pemilik motor dan pemilik motor bilang bahwa motor tersebut harganya pas 2 juta. Setelah itu aku pulang tanpa berani lagi tanya karena harganya pas 2 juta, padahal aku waktu itu pegang uang 1, 350 karena  sebagai karyawan dengan gaji yang pas-pasan sebagian tabunganku  habis juga untuk membeli berbagai peralatan bagi anak pertamaku.  Pikirku kalo memang motor itu rejekiku pasti kena aku.  Setelah beberapa minggu setelah itu ternyata motor tersebut sudah tidak ada lagi ditempat tambal ban alias  sudah terjual. Akhirnya membuyarkan angan-anganku untuk memiliki motor Antik. Dengan peristiwa itu aku tiap bulan menyisihkan penghasilanku agar aku memiliki dana untuk bisa membeli motor antik.  Beberapa bulan berjalan setelah peristiwa itu pada hari sabtu tepatnya bulan agustus  2006 seperti biasa aku jalan-jalan ke Pasar loak dan pada hari itu aku melihat ditempat samping jualan jual beli besi tua ada sepeda motor Zundapp dijual. Aku berkenalan ke pemiliknya dan bertanya kepadanya berapa motornya dijual.Motor tersebut dijual dengan harga 2,2 juta aku tawar mulai dari 1,5 juta dan akhirnya sepakat diharga 1,850 juta. Tanpa pikir panjang motor tersebut aku beli dengan syarat kepada pemiliknya untuk menyajari aku cara menggunakan motor tersebut karena waktu itu aku blom bisa/tahu cara mengoperasikan motor itu. Setelah beberapa jam diajari akhirnya aku bisa mengoperasikannya. Memang motor antik itu banyak seninya karena cara menggunakan motor ini ada teknik-teknik tersendiri. Itulah pengalaman yang berkesan bagiku dalam menekuni dunia motor antik sampai sekarang dan pemilik zundapp itu sampai saat ini jadi montir untuk motor-motor antikku apabila ada yang rusak ato kurang enak dipakai. Motor Zundapp pertamaku ini pernah ditawar teman jakarta walaupun memang dari nilai uangnya aku sudah untung  tetapi tidak aku lepas karena memang tidak aku jual karena mengingat usaha yang aku lakukan untuk membeli motor zundapp pertamaku ini penuh perjuangan. Usaha atau kenangan cara mendapatkan motor ini  yang tidak dapat dinilai dengan uang berapun.  Sejarah dari dari Motor Zundapp, sepeda motor pertama Zundapp adalah Z22 pada tahun 1921. Dengan desain yang simple dan dapat diandalkan serta diproduksi dengan berbagai seri.Sejarah motor Besar Zundappp dimulai pada tahun 1938 dengan K-series. (K singkatan dari "Kardanantrieb" yakni driveshaft ditutupi dengan dua sendi universal, jenis drivetrain, yang menampilkan model ini). Setelah Perang Dunia II, perusahaan secara bertahap dialihkan ke mesin-mesin produksi yang lebih kecil, misalnya dengan "Bella" motorscooter, masih relatif mesin berat untuk tipe itu. Akhir dari motor besar, dan mengidikasikan juga salah satu model paling terkenal, dirilis pada 1951: di KS601 dengan 598 cc dua silinder mesin. Pada tahun 1958 perusahaan dipindahkan dari Nurnberg ke Munich. Kemudian, perusahaan mengembangkan beberapa model baru yang lebih kecil, berhenti mengembangkan mesin 4-tak dan hanya memproduksi model 2-tak. Awalnya, Zündapp dan scooters mopeds terjual dengan baik, tetapi kemudian penjualan menurun, dan pada tahun 1984, perusahaan itu bangkrut dan ditutup dan sebelum tahun 70an merupakan motor yang cukup populer di Indonesia sebelum motor-motor buatan jepang merajai pasaran di Indonesia....Jangan Pernah merasa bahagia sebelum memiliki Motor Tua........................

Rabu, 04 April 2012

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
CAGAR BUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang        :   a.     bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b.     bahwa untuk melestarikan cagar budaya, Negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;
c.     bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;
d.     bahwa dengan adanya perubahan paradigm pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e.     bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hokum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
f.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Cagar Budaya;

Mengingat          :   Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG CAGAR BUDAYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.     Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
2.     Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manuria.
3.     Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
4.     Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
5.     Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Buday` sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
6.     Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
7.     Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
8.     Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
9.     Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya.
10.   Pengalihan adalah proses pemindahan hak kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang kepada setiap orang lain atau kepada negara.
11. Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
12.   Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
13.   Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
14.   Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
15.   Kurator adalah orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.
16.   Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar Budaya.
17.   Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
18.   Register Nasional Cagar Budaya adalah daftar resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya yang berada di dalam dan di luar negeri.
19.   Penghapusan adalah tindakan menghapus status Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya.
20.   Cagar Budaya Nasional adalah Cagar Budaya peringkat nasional yang ditetapkan Menteri sebagai prioritas nasional.
21.   Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat.
22.   Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
23.   Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
24.   Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
25.   Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.
26.   Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
27.   Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.
28.   Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
29.   Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
30.   Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
31.   Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
32.   Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
33.   Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
34.   Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
35.   Setiap orang adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.
36.   Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37.   Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
38.   Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP

Pasal 2
Pelestarian Cagar Budaya berasaskan:
a.     Pancasila;
b.     Bhinneka Tunggal Ika;
c.     kenusantaraan;
d.     keadilan;
e.     ketertiban dan kepastian hukum;
f.      kemanfaatan;
g.     keberlanjutan;
h.     partisipasi; dan
i.      transparansi dan akuntabilitas.

Pasal 3
Pelestarian Cagar Budaya bertujuan:
a.     melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
b.     meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
c.     memperkuat kepribadian bangsa;
d.     meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
e.     mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Pasal 4
Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air.

BAB III
KRITERIA CAGAR BUDAYA

Bagian Kesatu
Benda, Bangunan, dan Struktur

Pasal 5
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
a.     berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b.     mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c.     memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
d.     memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Pasal 6
Benda Cagar Budaya dapat:
a.     berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia;
b.     bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
c.     merupakan kesatuan atau kelompok.

Pasal 7
Bangunan Cagar Budaya dapat:
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

Pasal 8
Struktur Cagar Budaya dapat:
a.     berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b.     sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.

Bagian Kedua
Situs dan Kawasan

Pasal 9
Lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila:
a.     mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan
b.     menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

Pasal 10
Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:
a.     mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan;
b.     berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
c.     memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
d.     memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;
e.     memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f.      memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.

Pasal 11
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia, tetapi tidak lemenuhi kriteria Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai Cagar Budaya.

BAB IV
PEMILIKAN DAN PENGUASAAN

Pasal 12
(1)   Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2)   Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan negara.
(3)   Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai oleh Negara.
(4)   Pemilik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya yang tidak ada ahli warisnya atau tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.

Pasal 14
(1)   Warga negara asing dan/atau badan hukum asing tidak dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya, kecuali warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tinggal dan menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)   Warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang membawa Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 15
Cagar Budaya yang tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh Negara.

Pasal 16
(1)   Cagar Budaya yang dimiliki setiap orang dapat dialihkan kepemilikannya kepada negara atau setiap orang lain.
(2)   Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan atas pengalihan kepemilikan Cagar Budaya.
(3)   Pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan.
(4)   Cagar Budaya yang telah dimiliki oleh Negara tidak dapat dialihkan kepemilikannya.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 17
(1)   Setiap orang dilarang mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1)   Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya bergerak yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang dapat disimpan dan/atau dirawat di museum.
(2)   Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.
(3)   Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan koleksi museum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah tanggung jawab pengelola museum.
(4)   Dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3), museum wajib memiliki Kurator.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
(1)   Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya rusak, hilang, atau musnah wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisi`n Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait.
(2)   Setiap orang yang tidak melapor rusaknya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya tersebut rusak dapat diambil alih pengelolaannya oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 20
Pengembalian Cagar Budaya asal Indonesia yang ada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi, perjanjian bilateral, atau diserahkan langsung oleh pemiliknya, kecuali diperjanjikan lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21
(1)   Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita oleh aparat penegak hukum dilarang dimusnahkan atau dilelang.
(2)   Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilindungi oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(3)   Dalam melakukan Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aparat penegak hokum dapat meminta bantuan kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan.

Pasal 22
(1)   Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak memperoleh Kompensasi apabila telah melakukan kewajibannya melindungi Cagar Budaya.
(2)   Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada pemilik Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan Cagar Budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kompensasi dan Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENEMUAN DAN PENCARIAN

Bagian Kesatu
Penemuan

Pasal 23
(1)   Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.
(2)   Temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dilaporkan oleh penemunya dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(3)   Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi yang berwen`ng di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap temuan.

Pasal 24
(1)   Setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang ditemukannya ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
(2)   Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara.
(3)   Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara, dapat dimiliki oleh penemu.

Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai penemuan Cagar Budaya dan kompensasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pencarian

Pasal 26
(1)   Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.
(2)   Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air.
(3)   Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan melalui penelitian dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan lokasi.
(4)   Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI
REGISTER NASIONAL CAGAR BUDAYA

Bagian Kesatu
Pendaftaran

Pasal 28
Pemerintah kabupaten/kota bekerja sama dengan setiap orang dalam melakukan Pendaftaran.

Pasal 29
(1)   Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya wajib mendaftarkannya kepada pemerintah kabupaten/kota tanpa dipungut biaya.
(2)   Setiap orang dapat berpartisipasi dalam melakukan pendaftaran terhadap benda, bangunan, struktur, dan lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya meskipun tidak memiliki atau menguasainya.
(3)   Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pendaftaran Cagar Budaya yang dikuasai oleh Negara atau yang tidak diketahui pemiliknya sesuai dengan tingkat kewenangannya.
(4)   Pendaftaran Cagar Budaya di luar negeri dilaksanakan oleh perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(5)   Hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus dilengkapi dengan deskripsi dan dokumentasinya.
(6)   Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 30
Pemerintah memfasilitasi pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau nondigital.

Bagian Kedua
Pengkajian

Pasal 31
(1)   Hasil pendaftaran diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya untuk dikaji kelayakannya sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
(2)   Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
(3)   Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan:
a.     Keputusan Menteri untuk tingkat nasional;
b.     Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi; dan
c.     Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat kabupaten/kota.
(4)   Dalam melakukan kajian, Tim Ahli Cagar Budaya dapat dibantu oleh unit pelaksana teknis atau satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang Cagar Budaya.
(5) Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.

Pasal 32
Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan dilakukan oleh Kurator dan selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.

Bagian Ketiga
Penetapan

Pasal 33
(1)   Bupati/wali kota mengeluarkan penetapan status Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.
(2)   Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa:
a.     surat keterangan status Cagar Budaya; dan
b.     surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah.
(3)   Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya berhak mendapat Kompensasi.

Pasal 34
(1)   Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi.
(2)   Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang berada di 2 (dua) provinsi atau lebih ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional.

Pasal 35
Pemerintah kabupaten/kota menyampaikan hasil penetapan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah.

Pasal 36
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pasal 11 dapat ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Gubernur setelah memperoleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.

Bagian Keempat
Pencatatan

Pasal 37
(1)   Pemerintah membentuk sistem Register Nasional Cagar Budaya untuk mencatat data Cagar Budaya.
(2)   Benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya harus dicatat di dalam Register Nasional Cagar Budaya.

Pasal 38
Koleksi museum yang memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya dicatat di dalam Register Nasional Cagar Budaya.

Pasal 39
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi tentang Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan data yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40
(1)   Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya yang datanya berasal dari instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan luar negeri menjadi tanggung jawab Menteri.
(2)   Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya di daerah sesuai dengan tingkatannya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
(3)   Pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Register Nasional Cagar Budaya yang dikelola oleh pemerintah provinsi.
(4)   Pemerintah provinsi melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Register Nasional Cagar Budaya yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.

Bagian Kelima
Pemeringkatan

Pasal 41
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pemeringkatan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

Pasal 42
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai:
a.     wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
b.     karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;
c.     Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia;
d.     bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e.     contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah.

Pasal 43
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat provinsi apabila memenuhi syarat:
a.     mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar Budaya lintas kabupaten/kota;
b.     mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi;
c.     langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi;
d.     sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas wilayah kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
e.     berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung.

Pasal 44
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota apabila memenuhi syarat:
a.     sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kabupaten/kota;
b.     mewakili masa gaya yang khas;
c.     tingkat keterancamannya tinggi;
d.     jenisnya sedikit; dan/atau
e.     jumlahnya terbatas.

Pasal 45
Pemeringkatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 untuk tingkat nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri, tingkat provinsi dengan Keputusan Gubernur, atau tingkat kabupaten/kota dengan Keputusan Bupati/Wali Kota.

Pasal 46
Cagar Budaya peringkat nasional yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional dapat diusulkan oleh Pemerintah menjadi warisan budaya dunia.

Pasal 47
Cagar Budaya yang tidak lagi memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota dapat dikoreksi peringkatnya berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di setiap tingkatan.

Pasal 48
Peringkat Cagar Budaya dapat dicabut apabila Cagar Budaya:
a.     musnah;
b.     kehilangan wujud dan bentuk aslinya;
c.     kehilangan sebagian besar unsurnya; atau
d.     tidak lagi sesuai dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, atau Pasal 44.

Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeringkatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Penghapusan

Pasal 50
(1)   Cagar Budaya yang sudah tercatat dalam Register Nasional hanya dapat dihapus dengan Keputusan Menteri atas rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di tingkat Pemerintah.
(2)   Keputusan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 51
(1)   Penghapusan Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan apabila Cagar Budaya:
a.     musnah;
b.     hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan;
c.     mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan keasliannya; atau
d.     di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.
(2)   Penghapusan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya.
(3)   Dalam hal Cagar Budaya yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan kembali, Cagar Budaya wajib dicatat ulang ke dalam Register Nasional Cagar Budaya.

Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai Register Nasional Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PELESTARIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 53
(1)   Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif.
(2)   Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.
(3)   Tata cara Pelestarian Cagar Budaya harus mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian.
(4)   Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.

Pasal 54
Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.

Pasal 55
Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.

Bagian Kedua
Pelindungan

Pasal 56
Setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya.

Paragraf 1
Penyelamatan

Pasal 57
Setiap orang berhak melakukan Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan.


Pasal 58
(1)   Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk:
a.     mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan
b.     mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam keadaan darurat dan keadaan biasa.

Pasal 59
(1)   Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman.
(2)   Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koodinasi Tenaga Ahli Pelestarian.
(3)   Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru.

Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelamatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Pengamanan

Pasal 61
(1)   Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah.
(2)   Pengamanan Cagar Budaya merupakan kewajiban pemilik dan/atau yang menguasainya.

Pasal 62
(1)   Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat dilakukan oleh juru pelihara dan/atau polisi khusus.
(2)   Polisi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.     melakukan patroli di dalam Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan wilayah hukumnya;
b.     memeriksa surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya;
c.     menerima dan membuat laporan tentang telah terjadinya tindak pidana terkait dengan Cagar Budaya serta meneruskannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau instansi terkait; dan
d.     menangkap tersangka untuk diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 63
Masyarakat dapat berperan serta melakukan Pengamanan Cagar Budaya.


Pasal 64
Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.

Pasal 65
Pengamanan Cagar Budaya dapat dilakukan dengan memberi pelindung, menyimpan, dan/atau menempatkannya pada tempat yang terhindar dari gangguan alam dan manusia.

Pasal 66
(1)   Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.
(2)   Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.

Pasal 67
(1)   Setiap orang dilarang memindahkan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2)   Setiap orang dilarang memisahkan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pelerintah.

Pasal 68
(1)   Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagianbagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kepentingan penelitian, promosi kebudayaan, dan/atau pameran.
(2)   Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali dengan izin Menteri.

Pasal 69
(1)   Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagianbagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah provinsi atau kabupaten/kota untuk kepentingan penelitian, promosi kebudayaan, dan/atau pameran.
(2)   Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali dengan izin gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan
Pasal 69 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Zonasi

Pasal 72
(1)   Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian.
(2)   Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
a.     Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih;
b.     gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau
c.     bupati/wali kota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.
(3)   Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.

Pasal 73
(1)   Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik vertikal maupun horizontal.
(2)   Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air.
(3)   Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas:
a.     zona inti;
b.     zona penyangga;
c.     zona pengembangan; dan/atau
d.     zona penunjang.
(4)   Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan sistem Zonasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Pemeliharaan

Pasal 75
(1)   Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.
(2)   Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik dan/atau yang menguasainya dapat dikuasai oleh Negara.

Pasal 76
(1)   Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia.
(2)   Pemeliharaan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di lokasi asli atau di tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap.
(3)   Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya.
(4)   Perawatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus.
(5)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya.
(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Pemugaran

Pasal 77
(1)   Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.
(2)   Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
a.     keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;
b.     kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
c.     penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; dan
d.     kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
(3)   Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar Budaya.
(4)   Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)   Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengembangan

Paragraf 1
Umum

Pasal 78
(1)   Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.
(2)   Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh:
a.     izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
b.     izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.
(3)   Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(4)   Setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan pendokumentasian.


Paragraf 2
Penelitian


Pasal 79
(1)   Penelitian dilakukan pada setiap rencana pengembangan Cagar Budaya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya.
(2)   Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Cagar Budaya melalui:
a.     penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan; dan
b.     penelitian terapan untuk pengembangan teknologi atau tujuan praktis yang bersifat aplikatif.
(3)   Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebagai bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan atau berdiri sendiri.
(4)   Proses dan hasil Penelitian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk kepentingan meningkatkan informasi dan promosi Cagar Budaya.
(5)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah, atau penyelenggara penelitian menginformasikan dan mempublikasikan hasil penelitian kepada masyarakat.

Paragraf 3
Revitalisasi

Pasal 80
(1)   Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian.
(2)   Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya.

Pasal 81
(1)   Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 82
Revitalisasi Cagar Budaya harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan ciri budaya lokal.

Paragraf 4
Adaptasi

Pasal 83
(1)   Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a.     ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau
b.     ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
(2)   Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a.     mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
b.     menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c.     mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d.     mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengembangan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pemanfaatan

Pasal 85
(1)   Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang.
(3)   Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa izin Pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan.
(4)   Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.

Pasal 86
Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 87
(1)   Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
(2)   Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya.

Pasal 88
(1)   Pemanfaatan lokasi temuan yang telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya wajib memperhatikan fungsi ruang dan pelindungannya.
(2)   Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menghentikan pemanfaatan atau membatalkan izin pemanfaatan Cagar Budaya apabila pemilik dan/atau yang menguasai terbukti melakukan perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar Budaya.
(3)   Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan harus dikembalikan seperti keadaan semula sebelum dimanfaatkan.
(4)   Biaya pengembalian seperti keadaan semula dibebankan kepada yang memanfaatkan Cagar Budaya.

Pasal 89
Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang tercatat sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi, peringkat kabupaten/kota hanya dapat dilakukan atas izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 90
Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang atau dikuasai negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91
Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilakukan untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata.

Pasal 92
Setiap orang dilarang mendokumentasikan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya.

Pasal 93
(1)   Setiap orang dilarang memanfaatkan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dengan cara perbanyakan, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemanfaatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
TUGAS DAN WEWENANG

Bagian Kesatu
Tugas

Pasal 95
(1)   Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan,Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai tugas:
a.     mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam Pengelolaan Cagar Budaya;
b.     mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
c.     menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan Cagar Budaya;
d.     menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
e.     menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
f.      memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;
g.     menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;
h.     melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap Pelestarian warisan budaya; dan
i.      mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.

Bagian Kedua
Wewenang

Pasal 96
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang:
a.     menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;
b.     mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;
c.     menghimpun data Cagar Budaya;
d.     menetapkan peringkat Cagar Budaya;
e.     menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
f.      membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;
g.     menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
h.     melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
i.      mengelola Kawasan Cagar Budaya;
j.      mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang Pelestarian, Penelitian, dan museum;
k.     mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;
l.      memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;
m.    memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan Pengamanan;
n.     melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;
o.     menetapkan batas situs dan kawasan; dan
p.     menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
(2)   Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berwenang:
a.     menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;
b.     melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;
c.     menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;
d.     mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan
e.     menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 97
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan Kawasan Cagar Budaya.
(2)   Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial.
(3)   Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hokum adat.
(4)   Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 98
(1)   Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2)   Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a.     Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.     Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c.     hasil pemanfaatan Cagar Budaya; dan/atau
d.     sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Kompensasi Cagar Budaya dengan memperhatikan prinsip proporsional.
(4)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

BAB X
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN

Bagian Kesatu
Pengawasan

Pasal 99
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan kewenangannya.
(2)   Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar Budaya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Penyidikan

Pasal 100
(1)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana Cagar Budaya.
(2)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.     menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana Cagar Budaya;
b.     melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
c.     menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.     melakukan penggeledahan dan penyitaan;
e.     melakukan pemeriksaan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana Cagar Budaya;
f.      mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g.     memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
h.     mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.      membuat dan menandatangi berita acara; dan
j.      mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Cagar Budaya.
(3)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 101
Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 102
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 103
Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 104
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 105
Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 106
(1)   Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2)   Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 107
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota, memindahkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Paral 67 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 108
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur atau bupati/wali kota, memisahkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 109
(1)   Setiap orang yang tanpa izin Menteri, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2)   Setiap orang yang tanpa izin gubernur atau izin bupati/wali kota, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 110
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 111
Setiap orang yang tanpa izin pemilik dan/atau yang menguasainya, mendokumentasikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 112
Setiap orang yang dengan sengaja memanfaatkan Cagar Budaya dengan cara perbanyakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 113
(1)   Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dijatuhkan kepada:
a.     badan usaha; dan/atau
b.     orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana.
(2)   Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dipidana dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 112.
(3)   Tindak pidana yang dilakukan orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 112.

Pasal 114
Jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 115
(1)   Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 114 dikenai tindakan pidana tambahan berupa:
a.     kewajiban mengembalikan bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan sesuai dengan aslinya atas tanggungan sendiri; dan/atau
b.     perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
(2) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum dikenai tindakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 116
Pengelolaan Cagar Budaya yang telah memiliki izin wajib menyesuaikan ketentuan persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 117
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.

Pasal 118
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Pasal 119
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 120
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO